Membaca Pikiran Untuk Menyikapi Kebenaran


Kebenaran memang tak ada habisnya untuk diungkapkan, mulai dari peradaban kono sampai modern ribuan pemikir dan ilmuan mencoba menemukan kebenaran-kebenaran baru untuk diberikan pada dunia pengetahuan, seketika muncul dalam benak saya pertanyaan-pertanyaan apakah kebenaran itu dilandaskan oleh pemikiran? Atau mungkin sesuatu bisa dianggap sebagai kebenaran berdasarkan pengalaman?, dan semua orang memiliki pikiran dan pengalaman yang berbeda-beda lantas bagaimana bisa mengerti kebenaran jika berlaianan? Hmm membingungkan memang

Tapi kali ini saya mencoba sedikit mengkaji tentang kebenaran berdasarkan pengalaman, karena tak semua kebenaran bisa diungkapkan menggunakan akal sehat secara langsung, ada beberapa yang harus kita alami terlebih dahulu sebelum kita mengetahui hakekat aslinya, kebanyakan filsafat barat lebih menekankan pemikiran ketimbang pengalaman, mereka berani memfatwakan sesuatu adalah baik atau buruk sebelum mereka mengalami sendiri, benar jika Plato berkata “Ide mendahulukan realitas” karena seringkali manusia memikirkan sesuatu hal yang sama sekali belum terjadi pada kehidupan nyata dan ketika ia kebetulan menemui sesuatu kejadian yang sama persis dengan pemikirannya maka diklaim kejadian itu sebagai betuk nyata dari pikirannya, seperti halnya ketika seseorang laki-laki menyukai perempuan yang cantik, lemah lembut, dan lucu, sebelumnya perempuan seperti itu belum ada pada kehidupannya dan ketika ada seorang perempuan bernama Dewi memiliki kriteria yang sama dengan kesukaan laki-laki tersebut maka diklaimlah Dewi sebagai wanita yang cantik, lebut, dan lucu itu.


Rane Descartes seringkali menggunakan kata “aku berfikir maka aku ada” namun pada kenyataannya segala bentuk pemikiran seringkali terbantahkan oleh kehidupan nyata, bukannya menemukan kebenaran malah terjebak dan disibukan oleh banyak pemikiran-pemikiran sendiri, tidak adanya pengalaman membuat seseorang mengkultuskan dirinya menjadi seseorang yang paling benar, seorang yang paling genius telah menemukan teori yang tidak ditemukan kebanyakan orang. Namun kenyataannya tidak semua orang bisa menerima dan menelan mentah-mentah pemikirannya secara langsung, setiap orang memiliki pemahaman berbeda-beda terhadap suatu hal tergantung pada pengalamannya masing-masing, karena seringkali ketika kita mengkultuskan suatu pemikiran akan selalu bertabarakan dengan realita yang terjadi, ada yang berpendapat A ada yang berpendapat Z ada yang berpendapat bla bala bla... Jika semua ini terus dipikirkan atau bahkan diperdebatkan maka yang terjadi hanyalah benturan-benturan dan perpecahan-perpecahan, seseorang memiliki pemahaman masing-masing dan ini tak bisa diganggu gugat, mereka tak bisa menuruti pendapat A atau Z karena mereka memiliki pendapat mereka sendiri, mereka berdaulat pada pendapat mereka sendiri tanpa harus menyalahkan pendapat orang lain, segalanya tak bisa diseragamkan setiap orang memiliki pemahaman yang berbeda tergantung pada pengalaman. Sehingga Al-Ghazali mengubah perkataan tersebut menjadi “Aku mengalami maka aku ada”


Pada kenyataannya setiap orang hanya tafsiran, meskipun kebenaran bersifat tak terbatahkan namun kebenaran memiliki banyak variasi yang tak terhingga utuk memahaminya, setiap orang menangkap kebenaran yang berbeda-beda dengan takaran volume yang berbeda juga, maka dari itu setiap orang hanyalah tafsiran apa yang ia tangkap dan diyakini sebagai kebenaran bukanlah sesuatu yang mutlak, bisa jadi ada kebenaran lain yang lebih benar, tak menutup kemungkinan untuk menerima kebenaran itu, bisa juga kebenaran tersebut hanya berlaku pada dirinya dan tidak untuk orang lain, Manusia hanya bisa menafsirkan selebihnya Tuhan yang mutlak benar.


Ada lagi sebagian yang selalu penasaran dan menuntut dirinya untuk sesegera mungkin memecahkan kebenaran berbekal akal dan pengetahuan, namun ada beberapa kebenaran yang seharusnya tak bisa dimengerti dengan logika-logika pikiran, ada beberapa yang harus dimengerti hanya dengan menggunakan rasa dan pengalaman, seseorang tidak bisa menuntut untuk memecahkan suatu kebenaran karena seseorang tersebut belum tentu mengalaminya, bisa jadi semua pikirannya hanya menjadi ilusi dan bualan belaka yang sama sekali tak terjadi di dunia nyata seperti yang dikemukakan, seringkali kita juga terjebak antara kenyataan dan mimpi, seseorang bisa merasa mimpinya adalah kenyataan dan seketika ia sadar dan bangun ia baru mengerti bahwa yang dialminya hanya sekedar mimpi, Singmund Freud memeliti ini dan menuliskan di bukunya yang berjudul Tafsir Mimpi.


Mungkin karena pikiran bukanlah kenyataan, pikiran selalu berubah menurut pengamatan, kebenaran memang sangat susah sekali untuk dipecahkan seluruhnya karena kebenaran tak memiliki batas dan kapasitas yang tentu, namun kebenaran bisa diyakini sesuai dengan apa yang kita kita alami sendiri dan tidak semua realitas didasarkan pada materi yang memiliki bentuk fisik dan mampu ditangkap oleh panca indera, ada sesuatu yang bersifat metafisika dan ini tak bisa dipungkiri, memamang akan sangat susah untuk memahami sesuatu yang tak terlihat dengan pikiran karena pada dasarnya akal manusia masih memiliki keterbatasan dan pemikiran cendengrung menggunakan abraksi-abraksi visual untuk memahami sesuatu, salah satu yang bisa kita sikapi untuk memahami hal-hal yang bersifat metafisika adalah dengan keyakinan, karena ada beberapa kebenaran yang harus diyakini terlebih dahulu sebelum dialami, lalu dengan sendirinya pengalaman akan membuatnya akan paham hal tersebut merupakan suatu kebenaran, pengalaman sangatlah penting bagi manusia, makanya orang-orang tua dahulu sering mengatakan “pengalaman adalah guru yang terbaik”


Dan meskipun ilmu pengetahuan diwajibkan untuk dituntut karena ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang digunakan untuk mengungkapkan banyak kebanaran tapi alangkah baiknya kita untuk mensyukururi ilmu yang kita miliki hari ini dan menggunakan seluruh kebenaran yang kita miliki untuk berbuat baik, menuntut ilmu boleh saja asalkan jangan terlalu rakus dan berlebihan pada hakekatnya sesuatu yang berlebihan tidaklah baik, karena ilmu hakekatnya adalah Nur (Cahaya), jika sesorang menerima cahaya yang cukup maka teranglah seluruh ruangan dan penglihatan memungkin orang itu untuk berjalan kesuatu yang benar, namun jika cahaya yang diterima terlalu besar maka pengluhatan akan mendadi silaw, panas dan terbakar ia oleh cahaya itu sendiri.

Rabu, 3 April 2019

Posting Komentar

0 Komentar