Pelajar Indonesia Overdosis Indomi



Perlu dikatakan bahwa pelajar kita benar-benar overdosis Indomi, tetapi bukanlah Indomi produk mie instan yang dijual diwarung-warung melaikan adalah overdosis INDOMI (INDonesia, Matematika, Inggris), pelajar-pelajar Indonesia benar-benar sangatlah overdosis kali ini, setiap hari mereka dijejali dengan ketiga mapel tersebut lebih-lebih lagi untuk para pelajar akhir, sebelum lulusan mereka harus merasakan tambahan jam pelajaran, dan setiap hari mereka harus pulang sore, dan lebih parahnya adalah ketika mereka mendapatkan PR, padahal pembelajaraan sudah sangatlah lama dan terkesan berlebihan, tak ada waktu bagi mereka untuk istirahat setiap hari adalah belajar dan belajar dari pagi, siang, sore, dan malam. Pelajar kita juga dibingungkan dengan sistem pembelajaraan kejar materi, mereka tak punya waktu sedikitpun untuk memahami, orientasi mereka adalah nilai bukan pemahaman, maka dari itu banyak alumi-alumi dan lulusan sekolahan yang menjadi pintar tapi tak ahli, kita terlalu sibuk mengejar nilai sampai-sampai kita menerapkan ilmu yang kita pelajari, akan terkesan sangat percuma ketika kita sekolah bertahun-tanun namun pada akhirnya ketika lulus kita melupakan semua ilmu yang kita pelajari, tanpa penerapan.


Dalam pembelajaran seharuanya kita mengetahui proses kinerja otak, mula-mulanya kita harus mengamati, lalu kita visualisasikan dalam pikiran kita, dan kita teliti sampai pada akhirnya kita menjadi paham, namun sayang sekali sekolahan kita tak mengenal proses itu, penekanan untuk mengejar materi agar nanti saat Ujian Nasional berlangsung seluruh pelajar paham dengan alasan sudah diajarkan adalah salah besar, memaksa bayi yang baru bisa berjalan untuk lari adalah hal mustahil!, kita ini manusia, bukan robot yang bisa diprogram beberapa menit lalu bisa mengerjakan dan memahami materi secara cepat! Kita perlu proses dan hargai proses!


Ada baiknya jika dunia pendidikan indonesia belajar pada Sidharta Gautama kekita dalam petapaannya untuk mencari pencerahan, dia mendengar seorang orang tua yang menasehati anaknya di atas perahu

"Bila senar kecapi ini dikencangkan, suaranya akan semakin tinggi. Kalau terlalu dikencangkan, putuslah senar kecapi ini, dan lenyaplah suara kecapi itu. Bila senar kecapi ini dikendorkan, suaranya akan semakin merendah. Kalau terlalu dikendorkan, maka lenyaplah suara kecapi itu."

Mendengar itu Gautama meninggalkan petapaannya lalu pergi mandi di sungai, dengan tubuh yang kurus kering tinggal darah dan tulang yang hampir tak kuat lagi untuk menopang tubuhnya sendiri. Seorang wanita bernama sujata lantas memberikannya semangkuk susu, sudah tak mungkin lagi Gautama melanjutkan petapaannya bahkan maut hampir merengut jiwanya namun dengan tekat yang keras Gautama kembali melanjutkan petapaannya di pohon Bodhi sambil mengatakan

"Meskipun darahku mengering, dagingku membusuk, tulang belulang jatuh berserakan, tetapi aku tidak akan meninggalkan tempat ini sampai aku mencapai Pencerahan Sempurna"


Perasaan bimbang dan ragu meggodanya namun dengan iman yang kuat Gautama mampu menyelesaikan petapaanya samapai matahari terbit dari ufuk timur dan Gautama telah sampai pada pencerahan sempurna.


Sama halnya pendidikan kita, yang terlalu tegang sekarang, seperti senar kecapi jika terlalu kencang maka putuslah senar kecapi dan lenyaplah suaranya, kita perlu rehat sebentar dan mendandani lagi sistem pendidikan kita, apakah terlalu tegang? Atau terlalu kendor? Seharusnya kita bisa memposisikan diri kita sehingga selalu berada dalam keseimbangan.


Slawi, 22 Febuari 2019

Rizki Eka

Posting Komentar

0 Komentar